Sudut Pandang Ontologi Dalam Agama Hindu

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Sudut Pandang Ontologi Dalam Agama Hindu  ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Sudut Pandang Ontologi Dalam Agama Hindu. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yag membangun demi kebaikan masa depan.


Mataram,    September 2014
Penulis


I. Pendahuluan

            Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)?

II. Pembahasan

            Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?




A. Ontologi
      “Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
      Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
      Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
      Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud), yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al wujud) yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin (mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).” Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.



a. Monisme

             Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme dan idealisme.

        Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja. Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya “yang tak terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.”

        “Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat satu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang bagus”. Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan dari ide.

        Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang semata.
b. Dualisme

         Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
         Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum Descartes Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku” ada jelas sekali memosisikan manusia sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
         Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.
d. Nihilisme
         Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
          Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti “unknown”. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent.” Beberapa tokoh aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.
        Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.
III. Penutup
           Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis. merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.


          Ontologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodelogis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam denagn ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan tehnis yang bersifat khas.

         Belajarlah filsafat karna filsafat ilmu yang meneliti tentang kebenaran.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Agama Hindu

SOSIOLOGI PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI (E George Payne)

DARSANA WAISISEKA